Pages

Wednesday, January 12, 2011

PROYEK PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA

Proyek pembangunan jembatan selat sunda yang menghubungkan pulau jawa dan pulau sumatra. Instansi yang terlibat antara lain pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah Provinsi Banten, China Development Bank, China Harbour Engineering. Kendala yang ditemukan adalah masalah pendanaan yang tidak memadai atau terbatas dari pihak pemerintah. Untuk realisasi pembangunan jembatan selat sunda, dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dengan pihak swasta khususnya dari luar negri yang mampu memberikan sokongan dana. Kerjasama yang dilakukan dengan cara Public Private Partnership.
Sumber: Ilustrasi Jembatan Selat Sunda
(PT Bangungraha Sejahtera Mulia )

Pembangunan infrastruktur perkotaan sangat dibutuhkan demi kenyamanan dan kemudahan masyarakat. Misalnya dalam hal aksesibilitas diwilayah Banten dan Lampung, dibutuhkan jembatan penghubung untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Selain itu transportasi laut pun semakin lama tidak mampu mengakomodasi permintaan akan jasa penyeberangan, maka dengan adanya kondisi seperti ini dibangun infrastruktur baru yang mampu menunjang, yakni jembatan penghubung antara Banten dan Lampung. Mengingat pembangunan jembatan selat sunda membutuhkan tenaga ahli dan pendanaan yang relatif besar maka seharusnya dilakukan kerjasama dengan pihak swasta. Saya sependapat bahwa, dari segi pendanaan dilakukan dengan public private partnership dapat menguntungkan pihak pemerintah, karena dengan adanya kerjasama dengan pihak swasta dapat mengurangi resiko-resiko yang menyebabkan proyek berjalan tidak lancar (tidak sesuai dengan tujuan), selain itu keterbatasan kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek secara keseluruhan. Misalnya resiko dalam pembebasan lahan terdapat kemungkinan yang mungkin terjadi yaitu kenaikan harga lahan, perubahan suku bunga, dan sebagainya. Apabila kemungkinan resiko dalam proyek ini dapat diminimalisasi, maka proyek akan berjalan sesuai dengan tujuan dan selesai tepat pada waktunya.

Saturday, June 5, 2010

EVALUASI KEBIJAKAN PERIKANAN MENGENAI

“PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERPADU”

Diolah dari artikel oleh Parwinia, 2001.

Pembangunaan sektor perikanan sebagai bagian dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam mewujudkan suatu masyarakat adil dan merata, materil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perikanan mempunyai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mendukung pembangungn wilayah dengan tetap memperhatikan kelestarian dan fungsi lingkungan hidup.

Dari keempat subsektor dalam sektor pertanian maka subsektor perikanan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru perekonomian mengingat prospek pasar, baik dalam negeri maupun internasional cukup cerah. Permintaan dalam negeri komoditas perikanan semakin meningkat disebabkan oleh karena semakin meningkatnya penduduk, perekonomian semakin membaik dan semakin tingginya kesadaran akan gizi.

Perikanan modern pada dasarnya merupakan suatu pembangunan perikanan yang berorientasi agribisnis. Sasaran akhir dari pembangunan perikanan keseluruhan adalah meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan bagi para petani/nelayan. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan langkah-langkah atau strategi pembangunan perikanan yang mengutamakan keterpaduan baik dalam lingkup lintas sektor, antar sektor maupun wilayah. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat terwujud suatu pembangunan perikanan yang efisien didalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan semacam itu tidak lain adalah usaha pengentasan kemiskinan dan pengembangan wilayah pesisir dengan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang tersedia, melalui peningkatan produktivitas perikanan serta nilai tambah, dengan orientasi agribisnis.

Sifat keterpaduan dalam pembangunan perikanan tersebut menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.

Oleh karena sistem agribisnis merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan agribisnis perikanan ini sangat tergantung kepada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi sub-sistemnya.

RINGKASAN KEBIJAKAN

Dalam Pelita VI strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani nelayan adalah penerapan sistem agribisnis terpadu berkelanjutan di bidang perikanan. Untuk mewujudkan penerapan sistem agribisnis di bidang perikanan tersebut, kebijakan yang ditempuh adalah :

1. Meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi.

2. Pengembangan agribisnis harus mampu meningkatkan aktivitas pedesaan.

3. Pengembangan agribisnis diarahkan pada pengembangan mitra usaha antara skala besar dan skala kecil secara serasi, sehingga nilai tambah dari kegiatan agribisnis dapat dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.

4. Pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra produksi perikanan dalam suatu skala ekonomi yang efisien.

Untuk mewujudkan usaha perikanan yang berwawasan agribisnis, telah dikembangkan sentra-sentra produksi di 13 propinsi berdasarkan pemilihan komoditas unggulan yang berorientasi pasar dan disesuaikan dengan potensi sumberdaya ikan. Dalam kaitan ini telah dilaksanakan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) perikanan di 13 propinsi, yaitu Riau (budidaya kakap putih), Bengkulu (penangkapan tuna/cakalang), Jawa Tengah (penangkapan pelagis kecil), DI Yogyakarta (penangkapan lobster), NTB (budidaya rumput laut), Sulawesi Utara (penangkapan tuna/cakalng), Sulawesi Tenggara (penangkapan tuna/cakalang), Kalimantan Barat (penangkapan kakap merah/udang), Maluku ( penangkapan tuna/cakalang), Irian Jaya (penangkapan tuna/cakalang), Jawa Timur (budidaya kodok lembu), Jawa Barat (budidaya Lele), dan Sulawesi Selatan (budidaya udang). Khusus untuk SPAKU budidaya (kakap putih, lele, udang dan kodok lembu), penyediaan benih yang diperlukan telah diupayakan untuk didukung penyediaannya melalui pengembangan usaha pembenihan rakyat yang dananya bersumber dari Inpres Dati II Bantuan Penangkar Benih.

KERANGKA PIKIR

Evaluasi Kebijakan

Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.

Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif).

Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.

Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, digunakan tipe kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Perbedaan utama antara kriteria untuk evaluasi dan kriteria untuk rekomendasi adalah pada waktu ketika kriteria diterapkan atau diaplikasikan. Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara restrospektif (ex post), sedangkan kriteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante).

Mengingat kurang jelasnya arti evaluasi di dalam analisis kebijakan, menjadi sangat penting untuk membedakan beberapa pendekatan dalam evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi teoritis keputusan.

Evaluasi Semu

Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.

Dalam evaluasi semu secara khusus diterapkan macam-macam metode (rancangan eksperimental-semu, kuesioner, random sampling, teknik statistik ) untuk menjelaskan variasi hasil kebijakan sebagai produk dari variabel masukan dan proses. Namun setiap kebijakan yang ada diterima begitu saja sebagai tujuan yang tepat.

Evaluasi Formal

Evaluasi Formal (Formal Evaluation) merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.

Dalam evaluasi formal digunakan berbagai macam metode yang sama seperti yang dipakai dalam evaluasi semu dan tujuannya adalah identik yaitu untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang dapat dilacak dari masukan dan proses kebijakan. Meskipun demikiam perbedaanya adalah bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasikan, mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan. Dalam evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif yang paling sering digunakan adalah efektifitas dan efisiensi.

Evaluasi Keputusan Teoritis

Evaluasi Keputusan Teoritis (Decision-Theoretic Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode diskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis keputusan di satu sisi, dan evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target di mana kinerja nantinya akan di ukur.

Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah 1) efisiensi; 2) keadilan; 3) insentif untuk perbaikan; 4) kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) dan 5) pertimbangan moral.

1) Efisiensi : Suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output atau outcomes) lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan hukum kebijakan tersebut. Acapkali, kita tidak dapat menghitung nilai rupiah dari keuntungan yang diperoleh akibat pulihnya suatu lingkungan dari pencemaran. Jika demikian, maka yang digunakan adalah kriteria “cost-effectiveness”, dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti “cost-effectiveness”, tetapi tidak sebaliknya..

2) Keadilan : Dalam hal ini yang dimaksud dengan keadilan adalah pembagian (penyebaran) keuntungan, yang diperoleh dari suatu kebijakan, diantara kelompok masyarakat (stakeholders).

3) Insentif untuk perbaikan : Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mendorong para “stakeholders” untuk mencari dan menerapkan pendekatan atau teknologi untuk perbaikan.

4) Enforceability : dapat atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan.

EVALUASI KEBIJAKAN PERIKANAN

“PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERPADU”

Pada dasarnya, langkah awal dalam menyusun suatu kebijakan adalah mengetahui akar permasalahan, yaitu dengan melihat formulasi strategi yang dibentuk oleh penentu kebijakan.

Menurut Wheelen dan Hunger (1992), formulasi strategi sering dikatakan sebagai perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang. Langkah pertama dalam melakukan formulasi strategis adalah menentukan misi, yaitu suatu gambaran terhadap maksud atau alasan bagi keberadaan suatu perusahaan atau suatu lembaga. Misi ini penting karena berfungsi sebagai arah bagi suatu perusahaan/Badan Pemerintah/Lembaga Pemerintah dalam merencanakan kegiatan usahanya.

Dalam melaksanakan misi tersebut, dibutuhkan suatu strategi tertentu yang meliputi berbagai kegiatan yang saling terkait. Keterkaitan kegiatan mulai dari misi sampai aplikasi strategi dapat dipakai sebagai alat kontrol atau pengendalian sampai sejauh mana misi suatu perusahaan/Badan Pemerintah telah berhasil dicapai.

Sedangkan untuk mengetahui situasi dalam rangka pembangunan perikanan dapat dilakukan melalui analisa situasi, yaitu suatu cara untuk mendapatkan suatu kemampuan strategis antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan internal sementara bekerja dalam tantangan-tantangan eksternal dan kelemahan-kelemahan internal. Analisa tersebut akan menghasilkan identifikasi terhadap kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu perusahaan/Lembaga dan cara yang lebih baik dalam penggunaannya.

Adapun metode yang sangat berguna dan populer dalam melakukan analisa terhadap situasi lingkungan suatu Lembaga/perusahaan pada saat ini adalah analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat).

Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh suatu kombinasi antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kumpulan faktor-faktor tersebut oleh karenanya harus dipertimbangkan pada saat melakukan analisa situasi. SWOT adalah suatu akronim daripada kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan internal serta peluang-peluang dan tantangan-tantangan yang penting dalam suatu perusahaan.

Tantangan, Peluang dan Prospek Pengembangan Agribisnis Perikanan.

Secara asasi karena sifatnya sebagai industri yang bertumpu kepada proses biologis, dunia perikanan adalah dunia pedesaan. Data statistik menunjukkan lebih dari 54 persen dari angkatan kerja pedesaan bermata pencaharian di bidang pertanian/perikanan dengan rata-rata pendapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang bekerja di sektor lain dan yang tinggal di perkotaan. Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di sektor perikanan ada hubungannya dengan struktur pedesaan yang kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif, karena sosok usahatani perikanan yang lemah prasarana, fisik dan non fisik yang masih belum memadai, serta terbatasnya jangkauan pasar. Kita semua mengetahui bahwa hampir sebagian besar produksi hasil perikanan adalah hasil jerih payah nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga , yang didukung dengan sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan untuk menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang diperlukannya untuk berkembang.

Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan, ternyata investasi perikanan juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan dan fakta bahwa lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau nelayan, baik dari segi kelembagaan maupun prosedurnya. Andaikata jangkauan tersebut sampai kepada sasarannya, ternyata lembaga perbankan justru telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Disini terlihat bahwa ketertinggalan dan keterbatasan nelayan ternyata merupakan faktor kondisional yang berada dibalik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.

Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian khususnya perikanan adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang utuh. Produk perikanan mempunyai karakteristik yang mudah rusak dan bervolume dengan dibandingkan nilainya. Penanganan pasca panen, penyimpanan , pengolahan, pengangkutan dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi vertikal dalam investasinya, maka ia terpaksa harus bergantung kepada adanya investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.

Hal-hal lain yang juga memberikan peran dalam memperlebar kesenjangan antar wilayah maupun diantara masyarakat pedesaan sendiri, adalah apa yang kita sebut sebagai kegagalan pasar. Dari pengalaman selama ini dapat ditunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang mengandalkan pada kekuatan pasar saja justru hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah keatas. Masyarakat ekonomi lemah termasuk didalamnya nelayan di pedesaan tidak sepenuhnya mampu memanfaatkannya.

Berhadapan dengan berbagai tantangan yang menggugah tekad untuk menghadapinya itu, terbuka luas peluang berkembangnya agribisnis untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri akan berbagai hasil perikanan, yang lokasi dan sumberdayanya berada di Indonesia, serta didukung dengan sumberdaya manusia, ilmu dan teknologi, organisasi dan manajemen, serta modal, kekayaan sosial ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang handal.

Peluang dari segi permintaan timbul disamping karena dinamika pertumbuhan penduduk, juga karena dinamika pertumbuhan ekonomi, sosial budaya dan arus globalisasi. Penduduk yang bertambah, pertumbuhan perkotaan, industrialisasi, peningkatan pendapatan, peningkatan kecerdasan/pendidikan dan lain-lainnya, merupakan perubahan lingkungan strategik dari sisi permintaaan yang manakala diantisipasi dan diapresiasi secara tepat akan menjadi peluang usaha agribisnis yang menjanjikan nilai tambah. Dari segi penawaran, peluang tersebut terbuka karena kemampuan ekonomi pedesaan yang semakin besar dan semakin terbuka sebagai hasil dari perubahan dan kemajuannya dalam transformasi struktural perikanan terdisional menjadi perikanan dan pedesaan maju. Berkat pengalaman dan pelajaran yang diraih dalam proses pembangunan dan modernisasi pertanian untuk mencapai swasembada pangan, ekonomi pedesaan sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi nasional. Proses perubahan untuk menjawab kebutuhan pangan nasional tersebut telah mengembangkan kelembagaan sistem agribisnis di pedesaan yaitu perangkat yang menjadi penghantar masukan iptek sarana, dana dan jasa, serta industri pengolahan hasil secara meluas di seluruh pedesaan.

Tantangan dan peluang serta kondisi sumberdaya pertanian termasuk perikanan yang merupakan kekayaan sumberdaya potensial dalam menapak era pembangunan PJP II dan yang dilengkapi dengan kebijaksanaan pembangunan yang berorientasi ke pedesaan, menempatkan pembangunan pertanian pada posisi sebagai arena pembangunan ekonomi yang perlu melakukan penyesuaian dalam pendekatan, yaitu dari orientasi usahatani untuk mencukupi kebutuhan menjadi pendekatan agribisnis untuk meraih nilai tambah bagi wilayah pedesaan melalui kemampuannya untuk bersaing guna mencapai kesejahteraan yang adil dan merata.

Strategi pembangunan pertanian termasuk perikanan yang berwawasan agribisnis merupakan upaya sistematik yang dipandang ampuh dalam mencapai beberapa tujuan ganda antara lain 1) menarik dan mendorong sektor perikanan, 2) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel, 3) menciptakan nilai tambah, 4) meningkatkan penerimaan devisa, 5) menciptakan lapangan kerja dan 6) memperbaiki pembagian pendapatan.

uji coba

test test...1..2...3...